Penulis: Chairul Umam Fathoni, DKM Masjid Daarussalaam// Juara 2 Lomba Menulis Artikel Gebyar Bulan Bahasa 2024
Pendidikan Literasi Islam dalam Membentuk Generasi yang Kritis dan Berakhlak
Beberapa waktu terakhir, media sosial X (dulu bernama Twitter) dan TikTok menampilkan sebuah eksperimen sosial. Akun tersebut memposting wawancara dengan empat siswa SMA, yang diminta menyebutkan nama negara di Benua Eropa. Seharusnya, pertanyaan ini bisa dijawab dengan mudah, bahkan oleh siswa SMP.
Namun, hasil wawancara ini cukup mengejutkan sekaligus miris. Orang pertama menjawab “Garut,” padahal Garut adalah nama kota di Jawa Barat. Setelah dikoreksi, ia mengubah jawabannya menjadi “Indonesia.” Orang kedua menjawab “Amerika,” sedangkan yang lain menyebut “Brasil” dan “Australia.” Ketika diberikan kesempatan lagi, jawaban mereka tetap tidak sesuai, seperti “Filipina” dan “Vietnam.”
Situasi ini tentu mencerminkan kualitas pengetahuan mereka. Kualitas pengetahuan sangat dipengaruhi oleh kebiasaan membaca dan kemampuan menangkap informasi. Lantas, bagaimana mungkin siswa SMA tidak mengetahui benua dan negara di dalamnya? Apa yang salah dengan sistem pendidikan mereka? Apakah mereka jarang membaca?
Jika ditelusuri dari usia mereka, dengan asumsi berusia 16 tahun, maka mereka lahir sekitar tahun 2008. Generasi ini termasuk dalam Gen Z dan menjalani masa sekolahnya pada 2019–2021, tepat saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Pada periode itu, mereka masih berusia sekitar 11 tahun, atau setara kelas 5–6 SD, dan menjalani pendidikan secara daring.
Jika ditelaah lebih dalam, terdapat berbagai faktor yang memengaruhi rendahnya tingkat literasi mereka. Namun, dalam tulisan ini, penulis akan menyoroti satu faktor utama, yaitu kebiasaan membaca atau kemampuan literasi. Lemahnya literasi mereka kemungkinan besar disebabkan oleh minimnya pengawasan dari orang tua dan guru.
Sebagaimana diketahui, dalam Islam, wahyu pertama yang diturunkan adalah perintah “Iqra'” atau “bacalah,” sebagaimana tercantum dalam Surah Al-‘Alaq ayat 1. Makna “bacalah” dalam ayat ini bukan sekadar membaca teks, tetapi juga memahami, merenungkan, serta menelaah ilmu dan bahan bacaan. Islam sangat menekankan pentingnya membaca karena membaca adalah kunci untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan. Dengan ilmu, seseorang akan memiliki kemampuan berbicara, menyelesaikan masalah, serta berbagai keterampilan lainnya.
Jika budaya membaca diabaikan, bagaimana Indonesia bisa mencapai visi “Indonesia Emas 2045”? Data dari penelitian internasional “World Most Literate Nations Ranked” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 menunjukkan bahwa minat membaca di Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara. Selain itu, hasil studi dari Programme for International Student Assessment (PISA) menempatkan Indonesia di posisi 11 terbawah dari 81 negara dalam hal literasi.
Data ini menunjukkan bahwa rendahnya minat baca di Indonesia merupakan tantangan besar yang perlu segera diatasi. Pemerintah harus berperan aktif dalam meningkatkan budaya literasi di kalangan generasi muda. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah meneladani ulama dan cendekiawan Muslim di era kejayaan Islam. Para ulama terdahulu sangat gemar membaca, bahkan menjadikannya sebagai bagian utama dalam kehidupan mereka. Beberapa di antaranya adalah Imam Nawawi, Syaikh Ibnu Taimiyah, Ibnu Malik, dan Adz-Dzahabi.
Salah satu ulama yang sangat mencintai buku adalah Ahmad bin Yahya Asy-Syaibani, lebih dikenal dengan nama Tsalab. Ulama ahli bahasa Arab ini bahkan mensyaratkan adanya meja untuk membaca buku setiap kali menghadiri suatu acara. Beliau tidak ingin waktunya terbuang sia-sia tanpa membaca.
Pertanyaannya, bisakah kita mengembalikan kejayaan literasi tersebut? Siapa yang harus memulai? Haruskah kita menunggu pemerintah?
Penulis meyakini bahwa jawabannya adalah “bisa!” Namun, diperlukan kesadaran dari berbagai pihak, terutama para pemangku kebijakan di bidang pendidikan. Generasi Z memiliki cara berbeda dalam menyerap informasi dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka tumbuh dalam era digital dengan paparan media sosial dan perangkat berbasis teknologi yang menyajikan informasi secara cepat dan menarik.
Oleh karena itu, pendekatan pendidikan harus disesuaikan dengan karakteristik Gen Z. Diperlukan ahli dan pakar yang fokus pada riset dan pengembangan media pembelajaran berbasis teknologi. Platform digital yang lebih interaktif dan menarik dapat digunakan sebagai sarana pembelajaran, tanpa mengabaikan pentingnya bahan ajar utama berupa buku.
Demikianlah keresahan yang penulis sampaikan terkait kondisi literasi generasi muda Indonesia saat ini. Semoga upaya perbaikan dapat terus dilakukan agar generasi Islam yang hebat dapat kembali muncul di Indonesia.
Ikuti kegiatan kami melalui :
🔍 Website : https://kuttabdaarussalaam.com/
📷 Youtube : https://www.youtube.com/@kuttabdaarussalaam6235/video
📱Instagram :
https://www.instagram.com/yayasanzamzamwannakhla/
https://www.instagram.com/kuttabdaarussalaam_jogja/
https://www.instagram.com/kbhalimahassadiyah/
https://www.instagram.com/rbqdaarussalaam/
https://www.instagram.com/rumahbaca_daarussalaam/
Jazakumullah Khoir ☺🙏