[Cerpen] Cinta di Pintu Kulkas
Cinta di Pintu Kulkas
Oleh : Wahyu Lupitasari
(Juara 2 Lomba Menulis Cerpen Bulan Bahasa dan Sastra 2021)
Siang yang begitu terik, terlihat seorang perempuan muda duduk di bawah pohon yang ada di depan sekolah. Ibu itu sedang menjemput anaknya pulang sekolah. Tak lama, terlihat seorang anak perempuan berusia sembilan tahun, anak tersebut keluar dari pintu gerbang. Bergegas ibu tadi berdiri dan menghampiri. Lalu ia menggandeng tangan, dan membelai lembut kepala anak itu dengan sayang. Si ibu tersenyum, lalu menanyai bagaimana sekolah si anak hari ini. Sambil menaiki motor matic bersama ibu nya, anak itu bercerita tentang hari ini.
Sesampainya di rumah, mereka masih asyik melanjutkan cerita tentang kegiatan si anak. “Iya Bun, tadi aku dapat nilai 90, kurang dikiiittt lagi”. Ujarnya penuh semangat, sambil melepas sepatu dan menaruhnya di rak. “Ya Alhamdulilah, itu artinya kamu sudah berusaha, jadi tetap harus bersyukur. Besok kalau ada ujian lagi baru dimaksimalkan lagi usahanya.” Si Ibu menimpali.
Anak perempuan itu bernama Arunika. Ia duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Aruni, sapaan akrabnya, tergolong anak yang cerdas. Ia mewarisi kecerdasan ibunya. Ibunya adalah seorang perempuan muda, usianya baru memasuki 30 tahun. Menikah di usia cukup muda yaitu 21 tahun, memang menjadi targetnya menikah di usia segitu. Meski tergolong muda, tidak membuat Ibun (panggilan dari Arunika) minim pengalaman dalam urusan rumah tangga ataupun parenting.
“Aruni, Ibun bikin puding buah kesukaanmu. Segera ganti baju lalu kita siap-siap makan siang ya.” Terdengar suara Ibun, sedikit berteriak dari arah dapur karena khawatir Aruni tidak dengar. Aruni yang masih di ruang depan, mendengar suara ibunya bergegas lari ke arah kamar untuk ganti baju. “Iya buuunnn.” Aruni ikut berteriak. Mendengar suara anaknya itu, Ibun hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum.
Sambil menyiapkan makan siang, Ibun berniat membuka kulkas untuk mengambil puding buah kesukaan Aruni. Tangannya bersiap membuka pintu kulkas, namun tatapannya tertuju pada magnet buah-buahan yang menghiasi pintu kulkas. Pikirannya melayang. Matanya sedikit nanar. Seperti memasuki mesin waktu, ia terlempar pada kenangan puluhan tahun silam. Tentangnya, tentang masa kecilnya.
Yogyakarta, Pertengahan Tahun 2000
Terlihat seorang anak perempuan sedang memegang lembar hasil ujian matematika. Dia tersenyum melihat nilainya yang hampir sempurna. Orangtuanya pasti bangga melihatnya mendapatkan nilai yang nyaris sempurna. Ia ingin bergegas pulang dan memberitahukan orangtuanya.
“Wah kamu cerdas banget Mim, cuma salah satu nomor aja.” Celetuk salah satu teman si anak perempuan, sambil mengacungkan jempol. Anak perempuan cerdas itu bernama Fatima, atau akrab dipanggil Mima. Mima tergolong anak yang cerdas, hampir disemua mata pelajaran. Setiap kenaikan kelas, ia selalu mendapat peringkat pertama di kelasnya. Guru-guru pun menyukai Mima yang cerdas karena cepat memahami pelajaran. Dan ia sering diminta membantu mengajari teman-temannya yang belum paham. Mima pun tak menolak.
Pulang sekolah, Mima biasanya berjalan kaki karena jarak rumah dan sekolah yang tidak terlalu jauh. Seringkali dia pulang bersama teman yang rumahnya tak jauh dari rumah Mima. Kali ini temannya sedang sakit, sehingga Mima pulang sendirian.
Sepanjang perjalanan Mima senyum-senyum sendiri karena mengingat hasil ujiannya yang mendapatkan nilai nyaris sempurna. Ia membayangkan segera sampai di rumah dan bertemu dengan orangtuanya, lalu menceritakan hasil ujiannya hari ini.
Masih dengan senyum sumringah, Mima bergegas masuk rumah sambil mengucapkan salam dengan lantang. “Assalamualaikum.”
Namun tidak ada yang menyaut. Sambil mencari di setiap ruangan, yang ternyata memang nihil. Tidak ada orang di rumah. Mima menghela nafas, ia baru teringat bahwa kedua orangtuanya tidak ada di rumah. Kedua orangtua Mima sibuk bekerja. Selama ini Mima tinggal bersama neneknya, saat masih duduk di bangku kelas satu dan dua sekolah dasar. Setelah Mima di kelas tiga, Mima baru tinggal bersama kedua orangtuanya. Alasan Mima tinggal bersama neneknya adalah, karena kedua orangtuanya sibuk bekerja sehingga menitipkan Mima sementara waktu di tempat neneknya. Ketika dirasa Mima sudah sedikit lebih mandiri, di usia sembilan tahun Mima dibawa tinggal bersama kedua orangtuanya. Mima di tempatkan di sekolah yang tidak jauh dari rumahnya.
Menyadari bahwa rumahnya kosong, Mima mencoba tabah. Ia berjalan menuju kamarnya, melewati lorong yang terasa begitu sepi dan dingin. Melewati dapur, Mima melihat secarik kertas tertempel di pintu kulkas. Dijepit dengan magnet strawberry dan jeruk. Terlihat tulisan ibunya berjajar rapih, tak lupa panggilan sayangnya. Ia mengambil dan membacanya.
Mima sayang, ibu dan ayah hari ini sepertinya pulang larut malam. Ibu sudah siapkan makanan di meja makan. Dan untuk makan malam ada di kulkas, nanti di hangatkan dulu ya Mim. Ada uang jajan di dompet atas kulkas. Mim, ibu bikin puding buah kesukaanmu, nanti di makan ya.
Ttd
Ibu dan Ayah
Tiba-tiba matanya basah. Berusaha menahan, tapi pecah juga. Mima menangis sejadinya.
Untuk kesekian kalinya, Mima menerima pesan di pintu kulkas. Pesan-pesan yang itu ditulis oleh ibunya. Kenapa meski telah menerima berkali-kali, tapi esok harinya Mima masih beranggapan bahwa orangtuanya akan menyambutnya ketika pulang sekolah ? Karena itu adalah harapan Mima, impian kecil Mima. Yang belum pernah terwujud. Karena kesibukan kedua orangtuanya, tidak ada waktu untuk sekedar menanyakan “bagaimana harimu ?”.
Mima rindu, terutama pada ibunya. Rindu dipeluk, atau sekedar bercengkrama bersama. Bukankah begitu kosong ? Tidak ada sentuhan kedua orangtua. Pilu membiru hatinya.
“Ibun..ibun… mana katanya ada puding buah buat aku? Ibun melamun ya? Kok Ibun nangis, kenapa Ibun?” Suara Aruni sontak mengembalikan Ibun dari tamasya masa kecilnya.
“Ibun nggak kenapa-kenapa sayang. Tadi cuma keinget masa kecil Ibun aja. Ibun juga suka banget sama puding buah. Dulu nenek suka bikinin puding buat Ibun juga”. Sanggahnya.
“Oh jadi Ibun lagi kangen sama nenek ya?” Aruni menyahut. “Iya sayangku”. Ibun membelai lembut kepala Aruni, lalu memeluknya dengan erat. Sambil mengusap air mata yang berusaha disembunyikan, yang tetap saja mengalir dari ujung matanya.
Menjadi orangtua, selama ini mungkin kita berfikir sudah memberikan sepenuhnya untuk anak-anak. Padahal belum. Menjadi hadir, bukan hanya sekedar ada. Meskipun memiliki hubungan fisik yang dekat, secara mental mungkin tidak. Mencukupi makanannya, bukan berarti sudah mencukupi sepenuhnya. Tidak ada aliran emosional, karena teralihkan dengan hal lain, anak jadi sendirian. Akan ada banyak hal yang terlewatkan. Dan itu tidak bisa terulang. Kita akan merugi. Kita akan meninggalkan bekas luka yang sulit disembuhkan.
Kelak ketika anak dewasa, tidak akan ada kenangan indah yang diingat oleh anak, hanya ada kenangan memilukan tentang orangtuanya. Orangtua yang tidak pernah hadir di kehidupan anak, fisik maupun mental. Lalu pilihannya hanya ada dua, menjadi seperti orangtuanya atau menjadi orang yang berbeda sama sekali dari orangtuanya.
Mima memilih opsi kedua. Ia menjelma menjadi perempuan dewasa yang didewasakan oleh waktu. Seiring berjalannya waktu ia mulai berdamai dengan luka pengasuhannya. Meski punya inner child, masa kecil yang tidak indah tentang pengasuhan, Mima tetap tumbuh dengan baik. Pilihannya adalah tidak menjadi sama dengan orangtuanya. Menjadi sebaliknya untuk anaknya, Aruni. Mima berusaha sepenuhnya hadir di hidup Aruni. Tidak ingin melewatkan sedetikpun kisah di hidup Aruni.
Saat ini, detik ini, Mima banyak berterimaksih pada pesan-pesan yang diberikan orangtuanya di pintu kulkas waktu itu. Mima menyadari, bahwa itu adalah cara menunjukan cinta dari kedua orangtuanya. Tidak ada orangtua yang benar-benar tidak menginginkan hadir di kehidupan anaknya. Semua hanya keterbatasan dari masing-masing orangtua. Waktu, pekerjaan, dan apapun itu alasannya, pasti tetap ada cinta yang diberikan orantua kepada anaknya.
-Selesai-